Naskah cinta yang telah kususun ini akan kuberikan kepadamu. Agar kau dan aku bisa segera bermain dalam adegan seni peran rindu di panggung hati kita.
Kalimat itu tertuang saja dalam kertas kosong di depanku. Berulang kali kalimat itu ku eja. Aku merasakan sesuatu yang lain ketika menggumamkannya beberapa tahun yang lalu. Berbeda dengan sekarang, aku tak lagi dapat merasakan sensasi yang berbeda, sensasi yang mengalir lembut ketika aku membaca tulisan itu. Aku mungkin telah benar-benar sampai pada titik dimana aku menyerahkan naskah itu pada zat yang maha sempurna. Tapi jika tidak, apakah mungkin aku patah? Tidak! Aku tak mau!!!
Entah bagaimana aku menggambarkan persaanku kini. Secara naluri, aku harus mengatakan bahwa aku sudah pernah dalam kondisi rasa seperti ini. Hampa. Tak peka. Nol.
Sedikit yang menguntungkan dalam keadaan sekarang ini hanyalah bahwa aku memiliki pegangan kalau-kalau nanti hanyut. Tempatku akan bertumpu saat lemah atau bersandar saat jatuh. Tempat ku akan kembali ketika tersesat. Sebegitu berharganya pegangan yang ku genggam kini hingga aku mau melepaskan semua yang sudah ada ditanganku, yang sekiranya akan mengancam genggamanku terlerai atasnya.
Tapi ternyata hidup adalah ibarat sebuah permainan itu membutuhkan strategi yang tidak main-main. Terus maju atau mundur sekalian? Tidak ada opsi berhenti di tempat. Kecuali satu opsi bantuan, mundur untuk secepatnya menyusun strategi baru. Dan tak kalah penting adalah kepemilikan atas benteng pertahanan yang kokoh. Kalau dipikir-pikir itu tak lebih dari sebuah teori umum sebuah perang. Keadaannya tentu lebih rumit dari pada merebut kemenangan sebuah permainan saja. Perang membutuhkan keberanian sedangkan permainan sangat membutuhkan kesabaran. Dan kedua-duanya sangat dibutuhkan dalam hidup ini.
Kesabaran itu pula lah yang sering mengacau sistem kerja otak kiriku. Rasionalitas yang tersusun rapi di belah kanan otakku sedikit kacau setiap kali menemukan ujian kesabaran menimpaku, apalagi peganganku itu. Tak sampai hati melihatnya tertunduk lesu dibalik intonasi bicaranya yang kian terdengar jauh.
Naskah cinta yang telah kususun ini akan kuberikan kepadamu. Agar kau dan aku bisa segera bermain dalam adegan seni peran rindu di panggung hati kita.
Tak bisa lagi menghembuskan the power of love yang biasa dideklamasikan dalam syair lagu cinta anak dari jaman batu dulu.
Aku mungkin telah benar-benar sampai pada titik dimana aku menyerahkan naskah itu pada zat yang maha sempurna...Semoga saja aku ikhlas, Ya Rabb...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar