Rabu, 12 April 2017

Renata II

Kembali terdengar suara perempuan muda itu berkata dengan keras. Lengkingan suaranya membuat gadis itu terkejut dan menangis. Terlihat perempuan muda itu menarik-narik tangan si gadis dan melemparkan tatapan yang sangat marah. Si gadis kembali menangis, keterkejutan nya berubah menjadi takut. Tangannya menggapai-gapai ke arah perempuan muda itu. Dia ingin berada dalam dekapan amarah perempuan muda itu. Aku berusaha masuk dalam situasi mereka. Sayup-sayup kudengar perempuan muda itu bertanya tanpa jawaban, "Kenapa Rena suka sekali memasukkan mainan kotor ini ke dalam mulut? Kenapa dimakan kertas itu? Ibu kasih makan, kasih susu tapi dibuang. Ini yang kayak begini malah dimakan?" Sampai pada perkataan itu, si gadis yang dipanggil Rena itu kemudian dengan ber-urai air mata menyentuh lutut perempuan muda itu, tertatih berjinjit menggapai tangannya. Setelah kuperhatikan, perempuan muda itu ternyata kemudian menangis juga.

***

Tatapan perempuan muda yang tadinya menakutkan itu seketika hancur oleh sentuhan jari kecil si gadis yang kutaksir baru berumur satu tahun. Usia yang tengah bersinar gemilang. Pancaran usianya akan melelahkan mata. Butuh kesabaran mental yang super double ekstra. Sebagai perempuan muda yang mentalnya juga masih (sedang dan akan tetap) bertumbuh, tentu saja tak mudah untuk memahami perilaku si kecil Rena yang tengah berkembang pesat. Merangkak kesana kemari, setengah berlari menjauhi makanan makan siang karena asyik bermain, belum lagi tangisan nya yang kemudian membangunkan mata perempuan muda yang tengah curi-curi waktu untuk sejenak 'take a nap' atau sekedar 'me time'. Jauh dilubuk hatinya aku yakin bahwa dia pun terluka ketika emosinya 'bablas' kepada si kecil Rena. Aku haqqul yakin atas ini. Karena air mata perempuan muda itu sudah menjadi saksinya. Perempuan muda itu meraihnya tangan kecil yang menggapai tangannya. Keinginan gadis itu untuk berada dalam dekapan ibunya terpenuhi. Tanpa amarah. Belaian lembut tangan ibu muda itu menyisir helaian rambut si kecil Rena yang basah oleh keringatnya. Serta merta derai tangis itu berubah menjadi tawa canda.

***

Hatiku ketar ketir menyaksikan drama dua perempuan ini, menahan perasaanku sendiri atas perempuan lain bernama Renata. Percakapan singkat via seluler kemarin itu mengantarkanku pada kesimpulan perasaan yang absurd.

Renata. Gadis kecil. Berumur sekitar satu tahun. Dengan usia gemilang ini cukup membuat repot ibunya yang kebetulan juga merangkap sebagai 'working mom' di salah satu perusahaan keluarga mereka. Bergerak di bidang jasa dan kontruksi. Sementara ayahnya sedang keluar kota untuk memantau pekerjaan di lapangan yang dikerjakan oleh perusaahaan tersebut. Aku tinggal serumah dengan keluarga ini, menumpang kos lebih tepatnya.

Renata. Gadis dari negeri nun jauh disana. Setahun atau dua tahun dibawah umurku. Ayahnya seorang duta besar. Beberapa tahun belakangan ini ikut ayahnya dinas di Indonesia. Tahun ini masa dinasnya berakhir. Kami bertemu di kantor Duta Besar tempat ayahnya ditempatkan dan kebetulan aku juga bekerja disana. Selama Renata disini, dia akrab denganku. Kemarin ayahnya pulang, kembali ke negeri asalnya,membawa serta perasaanku yang absurd.

Renata I

Gadis itu hanya tertegun menatap perempuan muda dihadapannya. Raut wajahnya tetap seperti tadi, seperti tidak terjadi apa-apa. Namun demikian, jari jemarinya gelisah, diremasnya lalu dilepas, digenggamnya lalu dilepas kembali, lalu diperhatikannya satu per satu sambil sesekali melirik kepada perempuan muda dihadapannya. Dia tau bahwa dia sudah melakukan sebuah kesalahan yang membuat perempuan muda itu marah dan sejurus memandangnya dengan tatapan sinis. Maka dari itulah dia hanya diam saja. Jangankan maaf, bahkan untuk mengucapkan pengakuan salah yang singkat pun gadis itu tak mampu.

***

Perempuan muda itu terlihat angkuh diatas kesalahan gadis itu. Meski gadis itu berkali-kali merentangkan tangannya tapi perempuan itu tak bergeming. Sedikitpun dia tak meneduhkan tatapan matanya. Aku jadi bertanya-tanya, kesalahan apakah gerangan yang dilakukan gadis itu padanya hingga membuatnya demikian gusar?

Dering telepon selulerku membuyarkan lamunanku. Sederet nomor tanpa nama yang tertera di layar hp ku sontak membuatku heran. "Ya.. Halo.." terdengar suara di seberang sana, lembut dan ringan.

Deg.
Seketika saja aku terkejut. Bagaimana mungkin aku bisa lupa kepada suara itu.
"Renata? Baik.. Tunggu aku. Aku kesana sekarang."

Selasa, 20 Desember 2016

"BATISTUTA" panggilanku

Plang SMA BUDI HARAPAN terpampang di depan pintu gerbang megah dengan pagar tinggi besar yang mengelilingi bangunan berwarna merah jambu ini. Aihh.. aku baru kali ini melihat sekolahan yang warna cat nya agak melankolis begini. Tapi itu pula lah yang menjadi daya tarik sekolahan ini hingga menjadi salah satu sekolah favorit para abegeh yang mau lanjut sekolah setelah lulus dari sekolah menengah pertama mereka. Tidak hanya lokal, konon katanya beberapa daerah sekitar kota sini, para abegeh nya juga mengincar sekolah berwarna pink ini. YA SALAAAAAM.

Adalah aku, seorang siswi aneh yang masuk sekolahan pink ini dengan setengah hati. Hanya karena gebetanku masuk sekolah lain. Sungguh membuat sesak didada ketika ribut dengan mama mengenai keputusan masuk sekolah ini. Kan tidak mungkin saja aku katakan bahwa alasanku tidak setuju dengan keputusan mama adalah masalah tidak satu sekolahan dengan gebetan. Yang benar saja? Tapi ya sudahlah.. Aku akhirnya manut saja ketika seorang wanita karir yang menyetir sedan corolla hitamnya melambaikan tangan ke arahku sambil berujar, "Have a nice day, Dear.. Semoga berhasil.." OH MAI GOD !!! Gebetankuuuuuuuuuuhhh... heuheuheuheuu..

Upacara pagi dimulai dengan basa basi dari kepala sekolah sebagai opening ceremonial welcome untuk para siswa baru. Lalu dilanjutkan dengan mencari nama masing-masing di depan papan pengumuman besar. Aku benar-benar tak bergeming. Duduk diam sambil mengunyah malas-malasan sebuah permen karet ketika seseorang duduk tak jauh dariku. Pakaian nya sudah seragam SMA. Tapi aku masi aja mingkem, melirik pun tak semangat. Oh gebetan, begitu besarnya pengaruhmu dalam hidupku.

"Hei Batistuta.." terdengar juga suaranya yang berat menegur entah siapa. Dan aku...? Sungguh tak berselera. "Ehh.." dan sebuah pukulan gulungan kertas yang dihempaskan ke bangku disebelahku akhirnya berhasil mengalihkan perhatianku. Bukan apa-apa, aku kaget. Aku melongo sekilas lalu menaikkan kedua alisku. "Kamu udah dapat kelas?" tanyanya. "Siapa? Aku?" jawabku bertanya kembali. "Iyalah.. Siapa lagi coba, disini tuh kan cuma ada kamu." "Tapi Batistuta siapa ya?" "Oh.. Iya.. Maaf.. Sekilas tadi dari jauh, rambut kamu mirip Batistuta." katanya nyengir kuda sambil garuk-garuk kepalanya yang kurasa tidak gatal sama sekali. "Rambut?" ujarku lagi, heran tak mengerti arah bicara manusia ssatu ini. "Poni" ujarnya segera. Well tetap saja aku tak mengerti. "Chan.." terdengar seorang senior perempuan menghampirinya dan bicara entah apa lalu sekilas melirik ke arah ku dengan tatapan tak bersahabat. "Ok.." begitu kata senior laki-laki yang kemudian aku tau bernama Chan itu menjawab lalu berdiri dan pergi tergesa-gesa.

"Melaaaaaa... Oiiiiiii..." Suara cempreng itu.. YA SALAAAAAMMM.. Bagaimana aku tidak mengenalinya. Si ceking ini ternyata sekolah dimari. "Dian..? Kau disini juga ternyata? Aku kira.." semangatku sedikit terbakar oleh kehadiran Dian si ceking teman karibku di Sekolah Dasar dulu. Dia tertawa lebar dengan mata yang menyipit meninggalkan bentangan garis tipis. Dia memang turunan Cina tapi hanya mata Cina yang dia warisi. Kulit putih Cina ayahnya sudah habis diturunkan pada kedua kakaknya dan dia kebagian gen ibu yang berkulit sawo matang. "Kita tidak sekelas, Mel.. Tapi bersebelahan. Kau di kelas I.1 dan aku di I.2, nah kabar baiknya kelas mu deket kantin loh.. Nanti aku bisa singgah ke kelasmu kalau mau ke kantin dan liat-liat ke dalam, mana tau ada yang seger-seger di kelasmu dan kamu juga bisa begitu ke kelasku. Eh di kelasku ada cowok guanteeeeng.. ntar deh aku... bla bla bla.." begitu info akuratnya dan lan lain dan lain lain yang kembali meruntuhkan semangatku. "AS YOU WISH deh, De.." kataku berlalu sambil liat-liat plang I.1 sesuai info darinya barusan.

Kelas I.1 seperti info akuratnya si Dian, emang ada nama RAHMEILA FITRI didalam daftar itu. Bangku kelas yang tersisa hanya dua, di depan sekali atau belakang sekali. Heuufh.. Oke lah! Dengan langkah pasti aku mengayunkan kakiku ke belakang sana. I'm the only girl lah di belakang sana dan seketika itu juga menjadi suit-suit-an lelaki-lelaki abegeh ini. Setelah ribut-ribut sebentar sekedar berkenalan sesama teman sebangku, masuklah Pak Guru sang wali kelas yang memperkenalkan diri bernama Pak Rahmadi. Lalu berkenalan lah kami satu per satu antara murid dan guru dan sekalian sesama teman. Setelah acara perkenalan intern berlalu, kemudian beberapa orang senior masuk untuk ber-basa-basi memperkenalkan diri sebagai anggota penjabat struktur bergengsi di bangku sekolahan ini, OSIS.

"Ehh.. Batistuta di kelas ini ya?" ujar salah seorang diantara mereka dan aku mengenal suaranya. Baru berkenalan lebih tepatnya. Dan ini sungguh sangat memalukan. Seisi kelas menatap ke arahku disertai suara ledakan bully para lelaki abegeh ini. OH MAI GOD ! Thx God ! Komplit sudah hari ini.